Sumenep, locusjatim.com– Di balik tenangnya ombak di Pulau Giligenting, Sumenep, lahirlah sebuah tekad besar dari seorang gadis nelayan bernama Tri Suci Widianti Winda. Kini, ia tercatat sebagai satu-satunya mahasiswi berhijab di Nippon Bunri University (NBU), Jepang. Bagi Winda, ini bukan sekadar pencapaian pribadi, ini adalah bukti bahwa mimpi bisa tumbuh bahkan dari pulau terpencil sekalipun.
Winda lahir dan besar di tengah masyarakat pesisir. Masa kecilnya dipenuhi aktivitas sederhana berenang, mencari kerang, hingga bermain pasir di tepi pantai. Namun, jauh di dalam dirinya, tumbuh keinginan besar untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya.
Setelah lulus SD, ia memutuskan meninggalkan pulau dan ikut orang tuanya ke Serang demi pendidikan yang lebih layak. Namun tekadnya tak berhenti di sana. Ia kemudian memilih masuk pesantren TMI Al-Amien Prenduan, Sumenep, demi mendalami ilmu agama dan meningkatkan kemampuan bahasa asing.
“Waktu itu saya bilang ke orang tua, saya ingin belajar agama dan bahasa sekaligus. Saya sudah punya cita-cita belajar di luar negeri sejak di pesantren,” ucap Winda.
Di pesantren, mimpi Winda mengakar kuat. Ia mulai mencari tahu negara tujuan, beristikharah, dan menjatuhkan pilihan pada Jepang. Negeri yang tertib, teratur, dan penuh etika hidup. Tapi jalan menuju sana tidak mudah—ia harus mengulang tes TOEFL hingga lima kali dan ditolak dua universitas sebelum akhirnya diterima di kampus impiannya.
Tak hanya belajar, Winda juga sempat mengabdi sebagai guru di Bangkalan dan menjadi relawan di yayasan di Tangerang Selatan. Di sela kesibukannya, ia terus belajar, berlatih bahasa Jepang, dan memantapkan niatnya. Proses panjang ini ia jalani nyaris tanpa jeda.
“Saya pernah nyaris menyerah. Tapi saya ingat kata-kata guru saya: ‘Idza shodaqol azmu wadhohas sabilu – Jika ada kemauan, pasti akan ada jalan.’ Itu jadi pegangan saya sampai hari ini,” kenangnya.
Ketika akhirnya ia dinyatakan lulus seleksi dan berangkat ke Jepang, Winda harus terbang sendirian meninggalkan keluarganya. Ia mengurus dokumen sendiri, belajar sendiri, bahkan menghadapi restu yang sempat sulit dari orang tuanya. Tapi semua itu terbayar saat ia resmi menjadi mahasiswa internasional di NBU.
Sesampainya di Jepang, perjuangan baru dimulai. Tempat ibadah yang sulit diakses, makanan halal yang terbatas, hingga jadwal aktivitas yang tak sesuai waktu salat jadi tantangan harian. Namun Winda melihat semua itu sebagai latihan mental.
“Di sinilah ilmu pesantren saya terasa manfaatnya. Saya bisa shalat jamak dan qashar, tahu mana makanan yang halal. Bekal itu sangat berarti,” ungkap Winda.
Lebih dari itu, ia menjadi representasi tunggal muslimah berhijab di kampusnya. Namun alih-alih tersisih, Winda justru diterima dengan baik oleh masyarakat lokal karena sikapnya yang sopan dan terbuka.
“Saya merasa orang Jepang hidup dengan nilai-nilai yang mirip Islam. Mereka jujur, disiplin, dan penuh empati. Itu membuat saya nyaman dan mudah beradaptasi,” tutur Winda.
Kini, ia tak hanya membawa nama pesantren, tapi juga nama pulau kecil Giligenting yang mungkin tak banyak dikenal orang. Ia membuktikan bahwa batas geografis dan sosial tak bisa menghalangi siapa pun yang punya tekad kuat.
Winda adalah contoh nyata bahwa mimpi tak mengenal tempat lahir. Dari pantai Madura ke ruang-ruang akademik di Jepang, ia membuktikan bahwa pendidikan adalah tangga yang bisa dinaiki siapa saja asal cukup sabar dan tak pernah menyerah.