LOCUSJATIM.COM, SUMENEP- Penyajian tajin (bubur, red) sora pada Jamasan Keris menjadi salah satu hal baru dalam ritual tahunan di bulan Muharram itu.
Tajin sora sendiri dalam budaya merupakan salah satu makanan yang memang menjadi pelengkap pada tradisi ter ater, di kalangan masyarakat Sumenep, saat telah memasuki bulan Suro atau Muharram.
Adapun makna yang diyakini dari penyajian tajin sora di bulan suro adalah penggambaran, bahwa masyarakat merupakan makhluk sosial, yang tak bisa bertahan hidup tanpa kehadiran orang lain.
Bupati Sumenep Achmad Fauzi Wongsojudo mengaku mengapresiasi penyajian tajin sora dalam kegiatan jamasan keris.
Menurutnya, hal itu bisa menjadi wadah pengenalan budaya bagi masyarakat, khususnya anak-anak.
“Untuk prosesi jamasannya sama seperti tahun sebelumnya. Tahun ini yang berbeda adalah ada tajin sora itu, tahun sebelum-sebelumnya tidak ada,” ungkapnya saat Jamasan Keris di Asta Bujuk Agung, Desa Aeng Tongtong, Kecamatan Saronggi.
Sementara itu, Ketua Pokdarwis Pelar Agung mengungkapkan, sejatinya tak ada hubungan khusus antara jamasan keris dengan tajin sora.
Namun, tambahnya, kuliner itu memang kerap kali disajikan oleh masyarakat, saat bulan Suro.
Melalui penyajian tajin sora di jamasan keris, pihaknya secara tidak langsung ingin memberitahukan bahwa tradisi tersebut masih hidup di masyarakat setempat.
“Kalau untuk itu, kami ingin memberitahu bahwa tradisi tersebut masih ada dan dilaksanakan di sini,” ungkapnya.
Sekedar diinformasikan, tajin sora merupakan masakan bubur berbahan dasar beras putih, yang dilengkapi dengan kuah santan dan berbagai toping. Seperti kacang goreng, udang, telur, serta beberapa kondimen lainnya.
Sementara untuk rasa dari tajin sora tersebut, biasanya cenderung asin dan gurih.