Hari ini, 22 Oktober, bangsa Indonesia memperingati Hari Santri Nasional (HSN) 2025. Setiap kali tanggal ini tiba, kenangan lama di masa mondok selalu hadir kembali. Ada satu peristiwa sederhana, namun begitu membekas dan mengubah jalan hidup saya sebagai santri. Semua berawal dari segelas air yang diberikan oleh Kiai Idris Jauhari di Pondok Pesantren TMII Al-Amien Prenduan.
Kala itu, saya masih duduk di kelas III intensif. Rasa jenuh dan lelah belajar di pondok mulai menumpuk. Saya sempat berpikir untuk berhenti mondok dan kembali ke rumah. Bersama orang tua, saya datang menghadap kepada Kiai Idris untuk berpamitan. Dalam hati, saya sudah yakin, hari itu adalah akhir perjalanan saya di pesantren.
Namun, Kiai Idris tidak banyak berkata. Beliau hanya menatap kami dengan senyum teduhnya, lalu mengambil segelas air. Tanpa penjelasan panjang, beliau menyerahkan air itu sambil berkata pelan, “Pulang dulu.” Tidak ada nasihat yang panjang, tidak ada larangan yang keras. Hanya kalimat sederhana dan segelas air bening.
Saya meminumnya dengan perasaan campur aduk—antara lega karena bisa pulang dan sedih karena meninggalkan dunia pesantren yang telah menemani bertahun-tahun. Sesampainya di rumah, malam itu saya sulit tidur. Ada sesuatu yang menggelisahkan, seperti ada yang hilang dalam diri. Ketenangan yang biasanya saya rasakan di pondok tiba-tiba lenyap.
Anehnya, keesokan harinya, niat saya berubah total. Entah dari mana datangnya dorongan itu, saya merasa harus kembali ke pesantren. Hati yang semula mantap ingin berhenti, kini malah rindu mendengar lantunan tadarus, azan subuh, dan suasana belajar di pondok. Saya pun kembali ke Al-Amien Prenduan dan bertekad menyelesaikan pendidikan hingga tuntas.
Bertahun-tahun kemudian, saya menyadari bahwa segelas air dari tangan Kiai Idris bukan sekadar air. Di dalamnya tersimpan doa, restu, dan keberkahan yang menguatkan hati seorang santri yang goyah. Dari peristiwa itu saya belajar, bahwa keberkahan guru tak selalu datang lewat kata-kata panjang. Kadang, ia hadir lewat tindakan sederhana yang sarat makna.
Kini, setiap kali Hari Santri tiba, saya selalu teringat segelas air itu—simbol dari kasih seorang kiai kepada santrinya. Ia bukan hanya menuntun untuk bertahan, tetapi juga menanamkan keyakinan bahwa keberkahan ilmu lahir dari ketulusan dan ketaatan. Dan dari segelas air itulah, perjalanan saya sebagai santri sesungguhnya dimulai.












