LOCUSJATIM.COM, SUMENEP – Sumenep memiliki banyak sekali tradisi, termasuk Telasan Apen atau yang sudah hadir sejak tahun 80an.
Budayawan Sumenep, Ibnu Hajar menyebut, pada awalnya Tradisi tersebut adalah kebiasaan masyarakat pinggiran di Sumenep yang setiap H-1 Hari Raya Idul Fitri, buka puasa bersama dengan memakan apen, tetapi dilakukan setelah salat Zuhur, bukan saat azan Magrib sebagaimana yang telah disyariatkan.
“Di beberapa daerah di Kabupaten Sumenep pada era delapan puluhan itu ketika H-1 Idul Fitri mereka rame-rame mokel atau membatalkan puasanya setelah salat dzuhur dengan memakan apen. Hal tersebut dikenal dengan sebutan “Telasan Apen,” ujarnya, Selasa (09/04/2024).
Namun, kata yang telah menulis puluhan buku ini , tradisi itu telah mengalami pergeseran, seiring dengan kesadaran komunal yang terjadi di masyarakat, artinya mengikuti zaman yang terus berkembang.
“Di era sekarang ini sudah bergeser, karena mungkin kesadaran itu muncul, malah yang terjadi di masyarakat kita. Dan itu adalah sebuah sisi buram dari tradisi yang kita miliki yang tidak harus kita lestarikan, artinya praktek yang seperti itu hendaknya kita buang,” paparnya.
Kendati prakteknya harus kita tinggalkan, namun kuliner yang berupa Apen harus tetap kita lestarikan lanjut pria berkacamata ini, dan masih tetap lestari hingga saat ini, karena, budaya ter Ater atau Arebbe yang dilakukan setiap H-1 lebaran Idul Fitri, memakai apen.
Dirinya menjelaskan, ditilik dari filosofinya, Tradisi Tar Ater atau Arebba diambil dari kata Nyare barokah dari bahasa Madura yang artinya nyari berkah.
“Filosofi yang dimiliki masyarakat Madura arebba itu kan ngarep Barokah. Dalam Bahasa Madura itu Rebe bisa dikatakan juga Rebo, ngarep Barokah ada ada juga dengan topak dan apen dan semacamnya,” lanjutnya.
Oleh sebab itu pula, ia menilai Apen adalah salah satu kuliner yang hadir dari sebuah tradisi kebudayaan.
Penamaan Apen sendiri, menurutnya diambil dari kalimat Alako Pa Capen yang memiliki arti serius melaksanakan puasa dan istiqomah.
“Dia berangkat dari filosofi apen itu sendiri, kan apen kepanjangannya alako pa jeppen jadi artinya serius melaksanakan puasa, Istiqomah lah daripada hal yang seperti itu. Jadi itulah salah satu tradisi yang yang kita miliki,” jelasnya.
Lebih lanjut ia menjelaskan apen merupakan warisan nenek moyang yang telah ada sejak zaman Belanda, dan berevolusi serta berkembang saat masa kemerdekaan hingga sekarang.
“Sebenarnya budaya ini sudah terbangun sejak zaman Belanda dulu sejak Islam masuk sudah memiliki kesadaran untuk berbagi. Tapi, seiring perjalanan waktu ketika kemerdekaan maka berevolusi jadi pola yang bermacam-macam yang diwujudkan dalam sebuah simbol, kebudayaan” paparnya.
Ia menambahkan, makna yang sama, juga tersemat pada mereka yang menggunakan nase’ ( nasi : bhs indonesia) atau dikenal dengan Arebba Nase’.
Secara istilah, Arebbe Nase’ memiliki makna kerasan betah dan melaksanakan ibadah yang diambil dari kalimat nasse’ papernah jha’ pamosse’.
“Sebagai sebuah simbol setelah sebulan penuh melaksanakan puasa dan sholat tarawih,” tambahnya.
Sementara secara subtansi, tradisi tersebut merupakan sebuah simbol kebudayaan, yang mengandung nilai-nilai filosofi dan pesan-pesan moral serta religius.
“Karena kita tahu bahwa kebudayaan itu kan intinya adalah menyampaikan nilai-nilai kearifan lokal kepada masyarakat walaupun itu misalnya dalam bentuk karya seni atau yang dalam bentuk kuliner itu,” tutupnya.