Berita

Dianggap Rumit, Produksi Gula Merah Tradisional di Sumenep Minim Peminat

179
×

Dianggap Rumit, Produksi Gula Merah Tradisional di Sumenep Minim Peminat

Sebarkan artikel ini
IMG 20231025 WA0005
Proses Produksi Gula Merah Tradisional (Foto: Istimewa)

SUMENEP, locusjatim.com – Proses pembuatan gula merah tradisional yang berbahan dasar sari bunga Siwalan atau biasa disebut nira dianggap terlalu rumit sehingga peminatnya semakin sedikit.

Hal itu diungkapkan oleh salah satu warga Desa Karduluk, Kecamatan Pragaan, Kabupaten Sumenep Masanah yang juga memproduksi gula merah tradisional.

Menurut Masanah untuk membuat gula merah secara tradisional memang tidak mudah, memerlukan keahlian tersendiri dan kesabaran tingkat tinggi.

“Mungkin karena prosesnya agak rumit, jadi masyarakat, khususnya anak-anak muda itu tidak tertarik untuk memproduksinya,” jelasnya kepada awak media, Selasa (24/10/2023).

Ia menjelaskan proses dimulai dengan memanjat pohon siwalan yang sudah siap disadap biasanya berukuran 15-30 meter.

Kemudian penyadap meletakkan wadah berupa ember, untuk menampung sari tangkai bunga siwalan dan dibiarkan kurang lebih 12 jam.

Cairan yang sudah terkumpul lalu dimasak di atas tungku batu sekitar empat jam, bergantung pada banyaknya jumlah nira. Ketika mulai mengental dan berubah warna menjadi kemerahan, bahan harus tetap diaduk agar tidak gosong dan menghasilkan kualitas gula yang baik.

“Jadi tidak berhenti, harus terus diaduk. Kalau tidak nanti, gula yang bagian bawah akan gosong dan rasanya tidak enak,” lanjutnya.

Masanah menambahkan, setalah itu barulah adonan gula merah siap untuk dicetak ke mangkok-mangkok plastik atau cetakan lain, sesuai dengan kebutuhan konsumen. Setelah mengeras gula merah tradisional itu pun siap untuk dipasarkan.

Sayangnya, dengan seluruh proses yang rumit itu, gula merah dari nira siwalan hanya dibandrol dengan kisaran harga Rp 18 ribu hingga Rp 23 ribu per buahnya.

Tak heran, kata Masanah banyak masyarakat yang beralih kerjaan bahkan merantau keluar daerah termasuk para pemudanya.

Kendati demikian Masanah sangat menyayangkan jika produksi gula merah di wilayahnya harus terhenti, hanya karena tidak ada generasi penerusnya.

Sebab, ujar Masinah pohon siwalan menjadi salah satu potensi alam, yang cukup besar di Desa Karduluk.

“Tapi kami kan juga tidak bisa memaksakan, bahwa generasi sekarang harus melanjutkan ini. Hanya saja eman gitu,” tandasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *