Pagi itu, sekitar pukul sembilan, saya menyusuri wilayah selatan Kampus Unija Sumenep. Tujuannya jelas: memantau langsung dampak banjir yang melanda Desa Patean, Kecamatan Batuan, beberapa waktu lalu.
Air tergenang tinggi, lahan pertanian tak luput dari genangan, bahkan beberapa rumah warga sudah kemasukan air. Ketika itu, saya bertemu rombongan dari Baznas Sumenep yang tengah bersiap membagikan nasi bungkus ke sejumlah RT terdampak. Tanpa ragu, saya menawarkan diri untuk ikut serta, sekaligus menjadikan momen itu sebagai kesempatan liputan lebih dekat.
Dengan sepeda motor, kami menerobos banjir. Air cukup dalam, kendaraan nyaris mogok. Saya sempat berbincang dengan salah satu warga. Ia bercerita, air sudah masuk sejak malam sebelumnya. Mereka tidur di atas kursi karena kamar tidur pun tak luput dari genangan.
Perjalanan berlanjut, hujan kembali turun. Sepeda motor sempat mogok karena kemasukan air, namun bisa saya hidupkan lagi. Dengan satu tangan membawa nasi bungkus, satu lagi menggenggam ponsel, saya melangkah menuju salah satu rumah warga.
Namun naas, saya tidak melihat ada selokan yang tertutup air. Saya terperosok masuk ke dalamnya—dalam hingga se-leher. Meski tubuh basah kuyup, saya bersyukur nasi bungkus dan ponsel masih bisa saya selamatkan.
Liputan ini bukan hanya soal berita. Tapi juga tentang bagaimana menyelami langsung kehidupan warga yang terdampak, merasakan apa yang mereka rasakan. Kadang, untuk mendapatkan cerita terbaik, jurnalis harus rela masuk lumpur—secara harfiah.