Surabaya,locusjatim.com — Polemik soal alokasi anggaran pendidikan Kota Surabaya tahun 2025 memasuki babak baru. Setelah video viral di media sosial menyebut hanya 19 persen dari total APBD dialokasikan untuk pendidikan, Pemerintah Kota Surabaya buru-buru membantah dan menyebut informasi itu hoaks. Namun sang pembuat video, praktisi anggaran Mauli Fikr, balik menantang Pemkot untuk adu data secara terbuka.
Pemerintah Kota sebelumnya menyatakan bahwa anggaran pendidikan dalam APBD 2025 telah mencapai 20,96 persen atau senilai Rp2,588 triliun. Pelaksana Tugas Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) Surabaya, M Fikser, mengatakan bahwa perhitungan tersebut mencakup total belanja fungsi pendidikan lintas dinas, bukan hanya dari Dinas Pendidikan.
Namun Mauli Fikr menolak mentah-mentah klaim tersebut. Ia menegaskan bahwa informasi dalam videonya bukan hoaks, melainkan berdasarkan dokumen sah. “Pernyataan saya merujuk pada Perda APBD 2025, khususnya Lampiran V, yang mencatat alokasi belanja fungsi pendidikan hanya sebesar 19,37 persen dari total APBD,” katanya, Senin (20/05/2025).
Direktur Intrapublik itu bahkan menyebut penggunaan istilah “fungsi pendidikan” terlalu luas dan rawan disalahartikan. “Tidak semua belanja yang bersinggungan dengan pendidikan bisa serta-merta dimasukkan ke dalam fungsi pendidikan. Harus jelas konteks dan tujuannya,” jelasnya.
Menurut Mauli, yang dibutuhkan dalam isu ini bukan klarifikasi sepihak, melainkan pembuktian dengan dokumen hukum yang sah. Ia mengingatkan bahwa sistem internal seperti SIPD atau surat edaran tidak memiliki kekuatan hukum sekuat Perda. “Kalau Pemkot mengklaim lebih dari 20 persen, silakan tunjukkan basis hukumnya. Saya merujuk pada Perda, dokumen yang sah secara hukum dan dapat diuji publik,” tegasnya.
Ia juga menilai reaksi Pemkot terlalu emosional dan berpotensi mengalihkan substansi dari persoalan utamanya: transparansi anggaran. “Saya menyarankan pemerintah merujuk pada dokumen-dokumen hukum yang sah, bukan sekadar mengandalkan sistem internal,” tambahnya.
Mauli berharap polemik ini bisa dijadikan momentum untuk membuka dialog antara pemerintah dan masyarakat, bukan justru membungkam kritik. “Mari kita buka datanya secara jujur dan hindari sikap merasa paling benar,” katanya.
Lebih jauh, ia menekankan bahwa pengawasan terhadap anggaran pendidikan adalah bentuk kontrol publik yang sah, terutama karena menyangkut mandatory spending. “Itu uang rakyat. Jadi harus dikelola dengan prinsip kehati-hatian, efisiensi, dan transparansi. Pendidikan ini soal masa depan kota,” pungkasnya.