Saya adalah pemuda asli Desa Karduluk, lahir dan besar di tanah yang bagi saya tidak hanya sekadar tempat tinggal, tetapi juga tempat berpijak harapan. Namun, belakangan ini, hati saya tak bisa tenang ketika menyaksikan sendiri kondisi beberapa ruas jalan desa yang sangat memprihatinkan. Banyak jalan penghubung antardusun yang rusak parah—berlubang, becek saat hujan, dan berdebu pekat ketika kemarau datang. Tak jarang warga yang melintas harus ekstra hati-hati, bahkan rela menuntun sepeda motornya karena takut tergelincir.
Yang lebih menyakitkan lagi, beberapa ruas jalan tersebut seolah-olah luput dari perhatian pemerintah Desa. Tahun demi tahun berganti, namun tidak ada tanda-tanda perbaikan ataupun pembangunan yang signifikan. Padahal jalan adalah urat nadi aktivitas warga: untuk ke ladang, ke pasar, ke sekolah, atau sekadar bersilaturahmi. Kami hanya bisa bertanya dalam hati: di mana letak keadilan pembangunan itu?
Yang patut diapresiasi adalah semangat gotong royong masyarakat Karduluk. Ketika pemerintah diam, warga bergerak. Dengan dana seadanya, swadaya dari kantong sendiri, masyarakat bahu-membahu membangun dan memperbaiki jalan seadanya—dengan batu, semen, bahkan sisa-sisa material bangunan. Ini mencerminkan kekuatan solidaritas yang luar biasa, namun di sisi lain juga menjadi tamparan keras bagi para pengambil kebijakan.
Sebagai pemuda desa, saya tidak bisa hanya diam. Saya percaya pembangunan itu hak semua warga, bukan milik wilayah tertentu saja. Kami tidak meminta yang muluk-muluk, cukup diberikan perhatian yang merata. Kami ingin berjalan di atas jalan yang layak, bukan di atas luka-luka ketidakpedulian.
Sudah saatnya pemerintah desa, kecamatan, hingga kabupaten membuka mata dan telinga. Lihat dan dengarlah jeritan jalan-jalan kami yang berlubang, yang tiap hari dilalui dengan rasa was-was. Jangan sampai suara-suara kami hanya dianggap angin lalu, padahal kami adalah bagian dari Indonesia yang sama-sama berhak maju.