Wacana menjadikan Madura sebagai provinsi bukanlah gagasan baru. Ide ini sudah lama bergaung dan mengisi ruang-ruang diskusi publik, baik di kalangan elite politik maupun masyarakat akar rumput. Sebagian melihatnya sebagai langkah strategis untuk mempercepat pembangunan, sebagian lagi mempertanyakannya dari sisi kesiapan daerah. Dalam posisi itu, saya berdiri: bahwa gagasan Madura menjadi provinsi adalah sebuah ide besar yang positif, tetapi belum menjadi prioritas yang mendesak untuk diwujudkan dalam waktu dekat.
Sebagai pemuda yang tumbuh dan hidup bersama denyut nadi Madura, saya memahami betul bahwa semangat untuk berdikari dan mempercepat pemerataan pembangunan sangat kuat dirasakan oleh masyarakat. Terlebih, selama ini Madura sering dianggap sebagai “daerah terpinggirkan” di tengah gemerlap pembangunan Jawa Timur. Maka tak heran, ide menjadikan Madura sebagai provinsi dianggap sebagai jalan untuk merdeka secara politik dan ekonomi.
Namun, gagasan sebesar itu tentu memerlukan kesiapan yang besar pula. Kita harus berani jujur pada diri sendiri bahwa Madura saat ini masih menghadapi berbagai persoalan mendasar yang belum selesai. Infrastruktur dasar seperti jalan, air bersih, dan transportasi publik masih belum merata. Kualitas sumber daya manusia, terutama dalam bidang pendidikan dan keterampilan kerja, juga masih tertinggal dibandingkan banyak daerah lain. Bahkan dari sisi tata kelola pemerintahan, kita belum menunjukkan model pelayanan publik yang unggul dan berintegritas
Lebih dari itu, kita juga dihadapkan pada kendala administratif yang cukup krusial. Pemerintah pusat saat ini masih memberlakukan moratorium pemekaran wilayah, yang secara langsung menghambat proses pembentukan provinsi baru. Ditambah lagi, keberadaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang mensyaratkan provinsi harus terdiri daei 5 kabupaten atau kota, Dengan dua hambatan besar ini saja, maka sangat realistis jika kita mengatakan bahwa secara hukum dan administrasi, jalan menuju Madura Provinsi saat ini belum terbuka.
Lantas, apakah gagasan ini harus kita tinggalkan? Tentu tidak. Justru di sinilah tantangannya: bagaimana kita menjadikan gagasan ini sebagai arah perjuangan jangka panjang, bukan sekadar isu politik sesaat.
Untuk itu, saya percaya bahwa kerja nyata dari daerah adalah kuncinya. Pemerintah di empat kabupaten di Madura — Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep — harus mulai berbenah dari sekarang. Jangan menunggu status provinsi untuk melakukan reformasi pembangunan, Perbaikan infrastruktur, pembenahan pendidikan, peningkatan layanan kesehatan, penguatan ekonomi lokal, serta pelayanan publik yang transparan harus menjadi prioritas bersama.
Demikian pula dengan sektor masyarakat. Pemuda, tokoh agama, akademisi, pelaku usaha, dan elemen lainnya harus mulai membangun ekosistem sosial yang saling menguatkan. Tidak ada gunanya berbicara soal provinsi jika SDM kita masih lemah, kualitas pemerintahan masih rendah, dan masyarakatnya belum solid secara visi.
Inilah saatnya kita semua, sebagai anak Madura, mengambil tanggung jawab. Bukan dengan sekadar menggugat pemerintah pusat, tapi dengan cara memperbaiki rumah kita sendiri. Jadikan gagasan Madura Provinsi sebagai bintang penunjuk arah, tetapi pastikan kaki kita tetap berpijak dan bekerja keras di tanah tempat kita tinggal.
Bila komitmen ini dijalankan bersama, saya percaya: Madura bukan hanya layak menjadi provinsi, tapi juga bisa menjadi contoh keberhasilan daerah yang tumbuh karena gotong royong, bukan hanya karena keputusan politik.